[Kesaksian] Refleksi Akhir Tahun 2018

By. Lyni Cahayadi

Tahun 2018…. Tahun yang terlihat biasa saja, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang terlalu berkesan dengan rutinitas rumah tangga yang tiap hari dilalui. Namun ternyata menjelang akhir tahun itu ada surprise yang muncul dan membuat perjalanan imanku bergejolak.

Saya berasal dari keluarga yang belum mengenal Tuhan, bukan hanya keluarga saya saja namun bahkan hampir seluruh keluarga besar saya juga belum mengenal Tuhan. Namun puji Tuhan sejak kecil saya disekolahkan di sekolah Kristen karena orang tua saya merasa bahwa hanya sekolah Kristen yang memiliki kualitas pendidikan yang bagus. Masih sangat teringat di pikiran saya ketika saya mengatakan mau dibaptis dan Papa melarang dengan keras dimana beliau hanya mengijinkan jikalau saya akan menikah dengan calon suami yang juga orang Kristen. Dan puji Tuhan saya bertemu dengan calon suami yang percaya kepada Tuhan.

Beberapa tahun terakhir Papa mengalami penyakit yang bernama auto-immune dimana sistem imunitasnya menyerang sel ototnya dia sendiri dan penyakit ini juga bahkan menyerang otot jantungnya.

Bertahun-tahun pengobatan yang dilakukan nampaknya tepat sasaran namun kini mulai menunjukkan efek samping dimana muncul penyakit jantung dan darah tinggi. Hal ini menyebabkan Papa harus dirawat intensif di rumah sakit. Beban tanggung jawab terhadap anak dan suami membuat saya sangat down pada saat saya harus menjaga Papa yang menginap di ruang ICU. Dicampur dengan berbagai pikiran yang muncul terkait dengan penyakit Papa membuat saya begitu khawatir terhadap berbagai keadaan tersebut.

Pada suatu sore ketika saya sedang menunggu sendiri di rumah sakit tiba-tiba ada suara dalam hati saya yang berkata “Kamu sibuk dengan perawatan jasmani Papa tapi bagaimana dengan jiwanya?” Saya tertegun dan tersentak. Hati saya berdetak kencang dan timbul perasaan takut bagaimana dengan keselamatannya. Apa yang sudah saya lakukan selama ini? Saya sering bersama dengannya namun saya hampir tidak pernah mengajaknya mengenal siapa itu Yesus. Saya terlalu banyak melewatkan waktu dan kesempatan yang Tuhan berikan agar saya bisa memperkenalkan Yesus kepadanya.

Dan kuasa Tuhan sungguh ajaib, di suatu waktu di dalam mobil pada saat saya sedang mengantarnya ke rumah sakit, tiba-tiba dia bertanya siapa itu Tuhan Yesus. Pada saat itu saya langsung mencoba menginjilinya namun saya ragu apakah Papa mengerti yang saya sampaikan. Saya merasa takut jikalau ada perkataan saya yang salah dan membuatnya menjadi tidak mau mengenal Yesus. Namun justru dalam ketakutan dan ketidakmampuan saya itu, saya berserah penuh kepada kuasa Roh Kudus. Saya yakin hanya dengan anugerah-Nya maka Papa boleh sedikit demi sedikit mendekat kepada Yesus, bukan dengan kekuatan saya, bukan dengan jasa saya namun hanya karena anugerah-Nya semata.

Di pertengahan Desember 2018 saya dan suami punya kerinduan untuk mengajak Papa dan Mama saya untuk datang pada saat ibadah malam Natal. Kami sungguh berharap itu menjadi momen dimana kami sekeluarga boleh datang beribadah ke gereja dan itu boleh menjadi hadiah Natal buat kami sekeluarga. Namun tiba-tiba Papa harus masuk HCU pada tanggal 20 Desember 2018 dan itu seperti mengubur mimpi saya untuk mengajak mereka ke gereja. Papa bahkan harus menjalani operasi pemasangan ring jantung di tanggal 22 dan saya semakin berpikir tidak mungkin untuk mengajaknya ke gereja untuk ibadah malam Natal. Namun pada tanggal 24 pagi pada saat dokter visit, dokter mengatakan bahwa Papa boleh pulang hari ini. Saya sungguh senang dan merasa Tuhan menjawab doa saya. Anak-anak bahkan menelpon Papa dan mengatakan, “Akong ikut ke gereja sore ini yah.” Harapan dan sukacita itu mendadak muncul lagi di dalam diri saya.

Entah mengapa check out dari rumah sakit saat itu sangat lama dengan proses yang panjang dan tiba-tiba ada seorang bapak tua di kamar perawatan yang menghampiri Papa. Orang itu mengajak Papa ngobrol dan bertanya apakah Papa seorang Kristen atau bukan. Malah orang itu mengatakan jangan percaya kepada Tuhan karena dia sendiri tidak mau percaya kepada Tuhan. Saat itu saya merasa jengkel dan kesal namun hanya bisa mengatakan kepada Papa jangan mau mendengar perkataan orang itu. Akhirnya saya mengantar Papa pulang ke rumah dan menanyakan lagi mengenai kepastiannya mengikuti ibadah malam Natal dan Papa menjawab kalau dia cape dan mau istirahat saja. Harapan dan sukacita yang tadi muncul langsung digantikan dengan kesedihan dimana saya tidak bisa mengajak orang tua saya datang di malam Natal tahun ini.

Selepas itu saya tetap mencoba untuk mengajaknya hadir di hari Natal tanggal 25 dan juga ibadah minggu namun Papa tidak mau dan mengatakan kalau dia belum siap hati. Saya sungguh kecewa, sedih, marah, perasaan itu bercampur aduk. Saya hanya bisa berdoa kiranya Tuhan berbelas kasih pada Papa sehingga dia boleh mendapatkan anugerah-Nya. Tanggal 31 di penghujung tahun itu saya dan suami berpikir untuk datang di ibadah tutup tahun, hal yang jarang sekali kami lakukan. Suami kerja setengah hari dan sore itu dia menjemput saya di rumah orang tua saya. Saat itu saya langsung mengajak Papa untuk ikut saja kebaktian tutup tahun ini daripada dia harus di rumah tidak melakukan apa-apa. Puji Tuhan! Papa mengangguk dan mau ikut ke gereja dan sungguh Papa benar-benar hadir di sana. Firman Tuhan dan kesaksian yang diberikan sungguh saya rasakan berbicara kepadanya untuk berserah dalam segala kekhawatiran hidupnya. Dan bahkan sejak saat itu Papa selalu ikut saya dan keluarga rutin datang ke ibadah minggu untuk beribadah dan mendengarkan Firman Tuhan. Haleluya!

Ini sungguh menjadi sebuah lembaran baru di tahun 2019, perjalanan baru bukan hanya bagi Papa dan Mama namun terutama bagi saya. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Harapan yang telah sirna malah dinyatakan dengan lebih indah. Saya sungguh melihat bagaimana Tuhan bekerja dengan cara yang begitu ajaib yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Penyakit yang dialami Papa malah “dipakai” untuk memperkenalkan diri-Nya kepada Papa dan Mama.

Tahun 2018… Tahun yang awalnya biasa saja, tahun dimana aku “took God’s grace for granted“. Puji Tuhan! Ia menyadarkanku bahwa keberadaan imanku saat ini adalah sungguh anugerah-Nya semata. Betapa aku hanyalah manusia yang sangat terbatas dan seharusnya aku tidak keras hati untuk terus mengandalkan diriku sendiri.

Banyak hal yang tak mampu kukendalikan namun bagianku hanyalah menyerahkan hatiku sepenuhnya berjalan dalam kehendak dan rencana-Nya yang indah.

Soli deo gloria!