The wait is over

The wait is over! Mungkin itulah salah satu kalimat yang sering diucapkan oleh para penggemar Liverpool belakangan ini. Penantian mereka melihat tim favoritnya kembali menjuarai salah satu liga paling bergengsi di dunia, akhirnya terbayar sudah. Ada yang sudah menjadi penggemar Liverpool selama puluhan tahun, ada juga yang baru beberapa tahun belakangan, atau bahkan baru kemarin. Dan tentunya semakin lama penantian itu, pasti juga berbanding lurus dengan rasa puas dan lega ketika menyaksikan Liverpool akhirnya kembali menjuarai liga Inggris. Melewati 30 musim penuh keraguan, dan mungkin istilah ‘Try Again Next Year’ sudah menjadi seperti semboyan kedua bagi para penggemar Liverpool setelah ‘You’ll Never Walk Alone’. Namun akhirnya tahun ini, tim ini berhasil membawa pulang lagi piala Liga Inggris itu kembali ke kota Merseyside.

Penantian. Tentunya bukan sebuah hal yang mengasyikan. Sangat jarang kita melihat orang yang menyukai menunggu sesuatu. Kita pasti lebih sering menemui orang yang marah-marah saat menunggu, dari pada yang berkata, “Saya ingin menunggu, sudah lama saya tidak menunggu. Saya sudah lama menantikan untuk bisa menunggu.”. Apapun bentuknya, yang namanya menunggu, pasti sangat menyebalkan, kadang waktu terasa seperti berhenti saat kita menunggu. Kalau bisa, saat saya mau sesuatu, hal itu harus sesegera mungkin saya dapatkan. Tapi justru, ada kalanya Tuhan menyuruh kita untuk tidak terlalu cepat mendapatkan sesuatu, agar kita bisa memuliakan Tuhan ketika mendapatkan sesuatu yang kita inginkan itu. Dan tidak jarang ketika kita terlalu cepat mendapatkan sesuatu, kita tidak mengerti nilai sesungguhnya dari apa yang kita inginkan itu. Sehingga akhirnya kita tidak mencapai kepuasan maksimal yang seharusnya kita rasakan saat mendapatkan keinginan kita itu pada saat yang tepat.

Bangsa Israel mungkin bisa menjadi satu contoh pelajaran bagi kita untuk dapat memahami arti dari sebuah penantian. Walaupun, memang sebagian besar penantian yang dialami bangsa Israel yang dicatat dalam alkitab, kebanyakan merupakan hukuman Tuhan atas ketidaktaatan bangsa Israel. Tapi tetap, dalam hal ini, tidak mengurangi apa yang dapat kita pelajari mengenai penantian. Berkali-kali bangsa Israel dipaksa Tuhan untuk menunggu. Saat harus keluar dari Mesir, menuju tanah perjanjian, bangsa Israel harus menunggu 40 tahun. Kemudian saat masa pembuangan di Babel, bangsa Israel harus menunggu 70 tahun untuk kembali.

Saat ini, mungkin hampir semua dari kita, sedang menunggu hal yang sama. Kapankah pandemi ini akan berakhir? Walaupun mungkin ada istilah ‘new normal’, tapi tetaplah berbeda dengan kenormalan yang kita rasakan sebelum era pandemi. Kita mungkin menantikan, kapan bisa beraktivitas dengan normal lagi; bisa bekerja, sekolah, belanja, bepergian, hingga beribadah dengan normal lagi.

Bagi kita yang sudah menunggu sekian lama untuk bisa beribadah lagi di Gereja, tentunya kabar Gereja sudah menjalankan ibadah lagi akan sangat menyenangkan. Dan memang, beberapa Gereja sudah kembali membuka tempat untuk ibadah terbatas sesuai dengan regulasi dari pemerintah. Yang menarik di sini, dari aturan tersebut, Tuhan juga seperti ‘berinterfensi’ langsung di dalamnya. Mungkin, untuk pertama kalinya mungkin dalam sejarah, untuk beribadah, kita harus mendaftarkan diri dan ada syarat yang harus dipenuhi untuk bisa beribadah di Gereja. Bukan untuk mengkritik aturan yang diberi. Tapi, bukankah hal ini sebenarnya membuat kita yang bisa hadir dalam ibadah di Gereja, benar-benar mengerti bahwa ketika kita bisa beribadah, itu adalah kesempatan. Untuk bisa menikmati ibadah di Gereja, kita harus menunggu sekian lama, dan setelah itupun, kita harus memenuhi syarat untuk bisa beribadah di Gereja; dan itupun kalau kita diperbolehkan beribadah di Gereja oleh keluarga kita.

Kalau hal-hal seperti ini tidak cukup membuat kita rindu datang pada Tuhan lagi, tidak menantikan beribadah dengan normal lagi, tidak ingin bersekutu bersama lagi, entah dengan cara apalagi Tuhan akan berbicara kepada kita.

— DMY