Awas, Jebakan di balik promo “Cashback” !!!

By. Haris Prahara dan GI. Martin Kurniawan

“Habis makan di sini, kita lanjut minum kopi susu yuk. Mumpung lagi promo cashback 50 persen”.

Begitulah nukilan percakapan antara seorang bapak dengan putranya di sebuah mal ternama Ibu Kota. Sulit dimungkiri, dewasa ini kata “cashback” kian lazim kita dengar. Musababnya, tak lain akibat perang promosi antar-platform pembayaran digital. Nama-nama yang telah berkecimpung pada medan bisnis tersebut, sebut saja OVO, Go-Pay, Dana, Sakuku, Cashbac, serta LinkAja. Mereka bisa dibilang tengah mendisrupsi alat pembayaran lain yang telah eksis, baik uang tunai maupun kartu kredit.

Melalui strategi, salah satunya “bakar uang”, para penyedia uang elektronik berlomba-lomba memikat perhatian publik. Aneka merchant, utamanya makanan dan minuman, diajak berkolaborasi untuk promosi cashback mulai dari 10 persen hingga lebih dari setengah harga. Bahkan, pada momen-momen tertentu, misalnya setelah tanggal gajian, cashback lebih besar dan masif ditabur oleh penyedia jasa uang elektronik tersebut. Antrean mengular di kasir pun menjadi hal jamak. Belum lagi antrean bisa macet ketika transaksi tertahan akibat kurang sinyal.

Sejatinya, kehadiran uang elektronik dan tawaran cashback-nya adalah langkah baik untuk mewujudkan masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). Data telah menunjukkan adanya perkembangan tren ke arah sana. Bank Indonesia mencatat, jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia terus naik. Pada 2011, tercatat nominal transaksi uang elektronik sebesar Rp 981 miliar. Pada 2017, jumlahnya melonjak drastis mencapai Rp 12,375 triliun. Per September 2018, angka transaksi kembali naik hingga Rp 31,6 triliun.

Masyarakat terus didorong memakai uang nontunai yang dinilai lebih praktis, nyaman, serta aman dipakai. Kita menjadi tak perlu membawa uang tunai terlalu banyak di dompet dan juga tak perlu gusar mendapat uang kembalian lusuh. Tinggal scan, transaksi berhasil, cashback pun meluncur. Itulah hakikat uang elektronik kekinian.

Jebakan konsumerisme

Di balik kemudahan yang ditawarkannya, ada pula tantangan dari berkembangnya alat pembayaran elektronik. Strategi promosi cashback suka tidak suka membuat masyarakat tergoda untuk belanja lebih sering dan lebih banyak. Acap kali kita menjadi impulsif ketika melihat tawaran cashback di pusat perbelanjaan. Dalam benak, terbesit pikiran “Mumpung lagi cashback 60 persen, sayang banget kalau tidak dimanfaatkan”.

Malah, kita terkadang membeli barang yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Namun, dengan iming-iming cashback besar, kita pun merasa tak rugi membelinya. Tahu-tahu, secara tak sadar uang kita mengucur lebih deras dibandingkan era sebelum gencarnya cashback.

Ya, konsumerisme bisa disebut sebagai ekses dari kepraktisan uang elektronik dan tawaran-tawarannya. Pilihannya berpulang kembali kepada diri kita, apakah kita bisa mengontrol diri dari perangkap tersebut atau justru terlarut di dalamnya.

Bagaimana sebetulnya pandangan Alkitab mengenai sikap konsumerisme dalam diri manusia?

Lukas 16:13c berkata: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon

  • Segala sesuatu yang diperbolehkan belum tentu berguna ataupun membangun kehidupan manusia (1 Korintus 10:23).
  • Sikap konsumerisme/hedonis berpusat pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan pribadi. Fokusnya bukan kepada bagaimana kita bisa memuliakan Tuhan dengan apa yang kita punya, tapi bagaimana kita bisa memuliakan diri kita dengan apa yang kita miliki. Fokus bergeser dari Tuhan kepada diri sendiri = menyimpang dari iman. Orang yang demikian sedang menyiksa dirinya dengan hal-hal yang akan mendatangkan masalah cepat atau lambat (1 Timotius 6:10).
  • Ada murka dan geram dari Tuhan kepada mereka yang mengutamakan kepentingan sendiri (Roma 2:8).

Apa langkah bijak untuk menangkal munculnya sifat hedonisme dalam diri?

Ibrani 13:5 menyatakan bahwa, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.”

Kita perlu belajar mencukupkan diri dengan apa yang Tuhan percayakan, sebab itu bagian dari pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan Tuhan berikan pada kita.

Oleh sebab itu langkah bijak menangkal munculnya sifat hedonisme dalam diri bisa melalui hal berikut:

C hecklist apa yang menjadi kebutuhan vs keinginan kita. Kita perlu jujur antara apa yang menjadi kebutuhan atau sekedar keinginan belaka.

U rutkan apa yang menjadi prioritas utama yang wajib dan tak boleh dihindari. Ini akan menolong kita untuk mengurangi keinginan yang menjurus gaya hidup hedonis.

K enali dalam hal apa saja kita tergoda, terbujuk, dan terpikat. Mengenali apa yang menjadi kelemahan kita sangat penting sehingga bisa membuat langkah-langkah antisipasi untuk menanganinya.

U tamakan kebutuhan orang-orang yang ada disekitar kita. Hedonisme berpusat pada kepuasan pemenuhan pribadi. Ketika kita belajar peduli terhadap kebutuhan orang disekitar kita, secara otomatis fokusnya akan berubah dari diri sendiri kepada orang di sekitar kita.

Punya rasa syukur atas berkat-Nya. Bersyukur itu bagian dari rasa cukup untuk apa yang kita miliki di dalam Tuhan. Kita tak akan mudah tergoda untuk apa yang tidak kita miliki, tapi sebaliknya kita dapat maksimal menggunakan apa yang Tuhan percayakan pada kita, karena kita diberkati untuk menjadi berkat.