Kecerdasan Buatan, Ancaman bagi Eksistensi Manusia?

by. GI Martin Kurniawan & Haris Prahara

“Teknologi bagai pedang bermata dua. Kehadirannya dapat membawa berbagai manfaat, sekaligus bencana”.

Demikian diungkapkan seorang penulis ternama asal Inggris, Alan Moore.

Bukan tanpa sebab Moore mengucapkan hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, dunia saat ini tengah mengalami digitalisasi yang teramat pesat.

Segala sesuatu mengarah pada otomatisasi yang berujung pada efisiensi sekaligus disrupsi pada berbagai sektor. Kondisi itu, antara lain telah terjadi pada industri perbankan dan manufaktur.

Kita kini mengenal istilah terhangat dalam era disrupsi ini, apa yang disebut sebagai artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Selain AI, machine learning (kemampuan komputer untuk belajar dari data) juga semakin menguat dewasa ini.

Pernahkah Anda tiba-tiba mendapat notifikasi di gawai tentang rekomendasi restoran terbaik ketika sedang berada di suatu mal? Lazimnya rekomendasi tersebut sesuai dengan cita rasa yang memang Anda sukai sehari-hari.

Yang terjadi bukanlah kebetulan, melainkan lahir dari proses pengumpulan data histori pencarian Google yang Anda lakukan.

Teknologi AI lantas memproses informasi makanan yang sering Anda cari di internet maupun dipesan secara daring.

Contoh lain implementasi AI adalah bagaimana situs berita daring menampilkan rekomendasi berita sesuai preferensi Anda membaca.

Iklan yang hadir pun bisa disesuaikan dengan kegemaran Anda tersebut, jika sering membaca berita travel maka iklan yang akan sering muncul adalah pilihan hotel eksotis atau penerbangan murah ke suatu destinasi.

Bila sering membaca berita properti maka iklan yang coba dihadirkan tidak akan jauh dari apartemen cicilan ringan, lokasi strategis, dan dekat stasiun.

Di satu sisi, kondisi di atas memberi dampak positif. Manusia menjadi dimudahkan untuk menjalani hidup. Kita menjadi tidak perlu repot-repot mengumpulkan brosur atau bahkan atlas untuk mencari tahu suatu tempat.

Gawai dan AI di dalamnya secara cepat dan aktual memberi informasi bagi kita.

Namun, sebagaimana ungkapan Moore yang sempat disinggung di atas, teknologi juga dapat memberi kabar buruk bagi sejumlah pihak.

Hadirnya AI di bidang call center dan informasi pelanggan, contohnya. Sebagai efisiensi tenaga manusia, kini sejumlah perusahaan ternama telah mengganti sistem aduan pelanggan dengan AI.

Itu tentunya menimbulkan pengurangan pekerja manusia di sektor tersebut. Pengangguran baru bisa tercipta dari proses efisiensi itu.

Kondisi tergerusnya pekerjaan manusia akibat teknologi ini telah terprediksi pada era revolusi industri 4.0 sekarang ini.

Jika dahulu revolusi industri ditandai dengan penemuan mesin uap, revolusi industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya produk terkoneksi internet (IoT). Kecerdasan buatan adalah salah satu bagian di dalamnya.

Pendiri Forum Ekonomi Dunia Klaus Schwab dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution, menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 secara fundamental dapat mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain.

Lebih lanjut, perkembangan AI, robot, dan sejenisnya diprediksi melenyapkan berbagai pekerjaan.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut, utamanya berkaitan dengan frontliner, seperti resepsionis, teller bank, pramuniaga ritel, dan lain sebagainya.

Bersiaplah, manusia kelak akan lebih sering bertemu mesin dibandingkan tatap muka saat menyetor uang, atau membeli makanan siap saji.

Meski begitu, mau tidak mau kehidupan mesti terus berlanjut. Perkembangan teknologi yang tak terbendung membuat manusia mesti adaptif agar tidak terlibas.

Penguatan kompetensi pribadi menjadi kunci untuk bertahan pada era disrupsi seperti sekarang ini.

Apa kata Alkitab?

Berkaca dari tren perkembangan AI dewasa ini, ada baiknya kita melihat kembali apa sesungguhnya kata firman Tuhan terkait kondisi tersebut.

Amsal pasal 1 ayat 7 dapat menjadi pedoman utama bagi kita. Bunyi ayat tersebut adalah: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.” Ini berarti segala kemajuan teknologi, termasuk AI, harus kembali pada hulunya, yaitu untuk kemuliaan Tuhan.

Tuhan memberikan hikmat agar manusia memiliki pengetahuan yang berguna untuk membangun kehidupannya, bukan justru menghancurkannya.

Karena itulah, setidaknya ada tiga poin penting tentang bagaimana pandangan Alkitab tentang kecerdasan buatan:

1. Tuhan memberikan hikmat kepada manusia agar dapat mengelola apa yang Tuhan ciptakan dan percayakan kepada manusia.

2. Kecerdasan atau pengetahuan yang dimiliki manusia seharusnya bukan saja untuk mengembangkan kehidupan yang berarti bagi manusia itu sendiri, namun juga memuliakan Tuhan sebagai pemberi hikmat.

3. Dosa membuat kecerdasan atau pengetahuan tidak digunakan manusia untuk dua tujuan di atas. Hanya penebusan di dalam dan melalui Kristus Yesus saja yang membuat manusia dapat kembali menggunakan kecerdasan atau pengetahuan tersebut dengan tepat.

AI sebetulnya ada untuk mendukung manusia lebih kreatif, lebih produktif, dan lebih efektif. Akan tetapi, pengembangannya perlu hati-hati, agar jangan sampai manusia yang menciptakannya tidak lagi jadi tuan dan malah dikuasai dan dibatasi oleh apa yang dibuatnya sendiri.

Sebagai seorang Kristiani, kita tak perlu menolak perkembangan AI. Sebab, manusia diciptakan Tuhan dengan kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan menghadapi ancaman, melebihi perkembangan AI itu sendiri. Sehebat-hebatnya perkembangan AI, tidak dapat menghancurkan sejarah kehidupan manusia yang sudah beribu-ribu tahun lamanya.

Toh, AI pun sejatinya dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di gereja.

Misalnya, penempatan sensor-sensor di ruang ibadah untuk mengamati kondisi ibadah jemaat, dalam rangka membantu pencahayaan, suhu pendingin udara, maupun tata suara sesuai kebutuhan.

Selain itu, AI juga bisa diterapkan untuk menampilkan ayat Alkitab sesuai konteks kotbah di layar monitor maupun kemudahan mengabsensi jemaat dengan CCTV pengenal wajah yang tersambung ke database jemaat.