BAHAYA KESOMBONGAN

BACAAN ALKITAB : Yesaya 23
PERENUNGANKU
Tirus adalah kota pelabuhan yang merupakan pusat perdagangan di daerah Fenisia, yaitu daerah sebelah Utara Israel. Semula, Tirus termasuk wilayah Sidon. Akan tetapi, Tirus cepat berkembang dan selanjutnya menjadi lebih maju dari Sidon, sehingga Sidon menjadi pusat perdagangan kedua setelah Tirus. Sebagai pusat perdagangan, kedua kota itu amat kaya. Kapal-kapal Tarsis adalah kapal-kapal dagang yang besar. Sebagai kota pelabuhan, jelas bahwa keberhasilan perdagangan di kota Tirus berkaitan dengan usaha perkapalan. Sihor adalah cabang sungai Nil. Gandum dari daerah di seputar sungai Sihor adalah salah satu produk penting yang diperdagangkan di Sidon dan Tirus. Kota Tirus disebut pernah “menghadiahkan mahkota” (23:8). Tampaknya ungkapan tersebut menunjukkan bahwa para saudagar Tirus yang sukses dihormati seperti seorang pembesar. Sekalipun kota Tirus adalah kota berkubu, yaitu kota yang pertahanannya kuat, penduduk kota Tirus tidak senang berperang. Mereka lebih mengutamakan usaha perdagangan daripada perluasan wilayah, bahkan mereka cenderung bersikap bersahabat dengan daerah atau bangsa lain, termasuk dengan Israel. Sayangnya, kesuksesan dalam perdagangan itu disertai cara dagang yang curang dan diikuti oleh kehidupan yang amoral.

Bila bangsa Asyur dan bangsa Babel menjadi sombong karena mereka berkuasa secara militer, penduduk kota Tirus dan Sidon menjadi sombong karena mereka berkuasa secara ekonomi. Kesombongan membuat mereka tidak lepas dari hukuman Allah. Kehancuran Tirus yang dinubuatkan dalam pasal ini jelas mempengaruhi bangsa-bangsa atau daerah-daerah yang berdagang dengan mereka. Kehancuran kota Tirus berlangsung selama 70 tahun (23:15-17). Akan tetapi, realisasi nubuat itu tidak dicatat dalam Alkitab sehingga kita tidak bisa memahami secara jelas. Bagi kita saat ini, kisah penghukuman Allah terhadap Tirus merupakan peringatan keras agar kita tidak menjadi sombong saat meraih kesuksesan. Kita pun juga harus senantiasa waspada agar tidak mengusahakan kesuksesan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bila kita mencapai kesuksesan pun, kesuksesan itu seharusnya kita abdikan untuk kemuliaan Allah. Manakah yang lebih Anda utamakan: Melaksanakan kehendak Allah atau mencari kemuliaan bagi diri Anda sendiri? [P]




Renungan Seorang Murid GKY Sunter / 2020